Cerita Kedua Dari Sumbing

Nov 7, 2020

“Dari sekian gunung yang pernah kamu daki, mana yang paling berkesan?”

Sungguh sebuah pertanyaan yang begitu sulit untuk dijawab. Karna bagi saya, setiap gunung memiliki kesan yang unik, berbeda, dan tentu saja menyenangkan. Bahkan untuk gunung yang sama, kesannya bisa berbeda jika pendakian dilakukan dari jalur yang berbeda.

Tahun 2018 adalah tahun di mana saya pertama kali mendaki Gunung Sumbing. Sebuah gunung tertinggi nomor dua di Jawa Tengah setelah Slamet. Waktu itu, saya dan ketiga teman — Rifqy, Eko, dan Mas Rendra — mendaki via Kaliangkrik di Magelang. Angin bertiup begitu kencang di sepanjang perjalanan waktu itu. Baik naik maupun turun. Bahkan saat perjalanan turun, kami tak sempat bikin sarapan karna banyaknya pasir yang masuk ke dalam tenda tersebab angin. Kami baru bisa bikin sarapan di Pos 2, di area yang mulai terdapat vegetasi yang cukup lebat untuk menahan angin.

Jum’at, 30 Oktober 2020 adalah pendakian kedua saya ke Gunung Sumbing. Kali ini dengan anggota yang lebih banyak: 14 orang. Beberapa adalah teman yang sudah saya kenal sebelumnya — termasuk Rifqy dan Eko. Beberapa benar-benar baru pertama kali bertemu.

Gunung Sumbing masih saja sama. Dalam diamnya, ia menyimpan begitu banyak misteri. Seperti hati, begitu misterius. Tak benar-benar bisa dipelajari. Kadang begitu ceria. Dalam hitungan detik bisa berubah menjadi muram.

Pada pendakian kedua kali ini, kami mendaki via Sipetung di kecamatan Kledung, Temanggung. Jika di pendakian-pendakian sebelumnya saya selalu jadi follower, kali ini ada sedikit tanggung jawab karna saya mendapat tugas untuk mengurus administrasi pendakian. Entah karna Gunung Sumbing memang tak terlalu populer di kalangan pendaki atau memang waktunya saja yang pas. Pendakian hari itu relatif sepi untuk sebuah long weekend. Kami hanya berpapasan dengan beberapa rombongan pendaki. Kalau dihitung mungkin tak sampai 4 rombongan. Bahkan di Lembah Suci (area camping utama jalur Sipetung dan Batur Sari), jumlah tenda masih bisa dihitung dengan jari. Sangat menyenangkan sekali mendaki gunung dengan suasana yang seperti ini. Sepi. Esensi pendakian masih sangat bisa dirasakan.

Gunung Sumbing jalur Sipetung sama melelahkannya dengan jalur Kaliangkrik. Namun kali ini, waktu tempuh perjalanan bisa sedikit dipersingkat karna kami menggunakan jasa ojek dari base camp ke pintu rimba. Selain mempersingkat waktu perjalanan, menggunakan jasa ojek juga bisa membantu ekonomi warga lokal. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, perjalanan dari base camp ke pintu rimba bisa memakan waktu 1.5 jam. Melewati jalan makadam di area perkebunan penduduk.

Perjalanan naik ojek dari base camp ke pos rimba ini memberikan kesan tersendiri. Pertama, ini adalah pertama kalinya saya naik ojek ketika mendaki gunung. Kedua, naik ojek di jalan makadam di lereng gunung itu sungguh jauh dari kata nyaman. Benar-benar memicu adrenalin. Tapi seruuuu. Saat perjalanan turun (yang juga naik ojek), motor yang saya tumpangi hampir saja jatuh karna jalanan yang licin akibat gerimis. Jika penasaran dengan suasana naik ojek di Gunung Sumbing via Sipetung, silakan tonton video di bawah ini.

Karna sudah memasuki musim penghujan, hari itu pun kami harus berakrab ria dengan kabut dan gerimis. Kami tak bisa sepenuhnya berpatok pada itinerary karna kondisi alam bisa saja memaksa kami untuk mendirikan tenda atau bahkan turun lebih awal. Dan benar. Kami terpaksa harus mendirikan tenda lebih awal karna gerimis mulai turun memasuki siang hari. Awalnya, kami berencana mendirikan tenda di Lembah Suci, sesuai yang disarankah oleh pihak base camp. Namun kondisi memaksa kami untuk mendirikan tenda di Pos Bidoplang (Bidoplang adalah Pos 2 dari jalur Batur Sari sekaligus persimpangan antara jalur Batur Sari dan Jalur Sipetung). Dari Pos Bidoplang ke Lembah Suci masih membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam lagi. Sembari menunggu hujan reda, kami mengisi waktu dengan memasak dan membuat minuman hangat. Tentu saja, ada banyak sekali canda tawa yang tercipta di antara kami di momen ini. Salah satu hal yang menyenangkan ketika mendaki gunung adalah ketika kita mendapat teman yang satu frekuensi. Alhamdulillah. Hari itu, saya mendapat teman sependakian yang suka becanda dan tidak jaim sehingga pendakian terasa begitu sangat menyenangkan.

***

Perjalanan kembali dilanjutkan sekitar pukul 01.30 dini hari. Dari tempat kami mendirikan tenda, masih dibutuhkan waktu sekitar 6 jam lagi untuk sampai ke Puncak Kepala Singa, puncak pertama dari jalur Sipetung. Tidak ada yang tinggal di tenda. Kami semua ikut naik. Dan alhamdulillah, kami semua bisa menginjakkan kaki di Puncak Kepala Singa. Di pendakian kali ini saya sebenarnya tak terlalu terobsesi untuk sampai ke puncak. Toh saya sudah pernah ke Puncak Sejati ketika mendaki gunung yang sama via Kaliangkrik dua tahun lalu. Saya cuma ingin mendaki. Melewati jalan setapak jalur pendakian. Menikmati udara gunung yang sejuk dan lembab. Melihat pohon pinus. Bertemu teman lama dan baru lalu mengukir cerita untuk masa depan. Tapi karna kondisi fisik masih sangat memungkinkan, saya dan teman-teman memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.

***

Terima kasih banyak untuk teman perjalanan kali ini. Untuk cerita baru yang terukir. Untuk canda tawa yang tercipta. Untuk kenangan yang terbentuk. Serta untuk persahabatan yang terjalin.

Foto-foto