Titik Nol

Feb 11, 2014

titik nol

Titik Nol sejatinya adalah sebuah buku perjalanan seorang backpacker Indonesia melintasi negara-negara di Asia Selatan: Tibet, India, Nepal, Afganistan. Namun, bagi saya buku ini lebih dari sekedar buku perjalanan dalam arti fisik perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Buku ini adalah sebuah buku perjalanan kehidupan seorang anak manusia dalam mencari makna dan arti dari hidup yang sebenarnya.

Buku itu saya beli beberapa minggu yang lalu. Saya memang sudah lama kepengin membeli buku itu, namun selalu gagal karna sering tergoda dengan buku lain yang harganya lebih murah.

Buku ini ditulis oleh Agustinus Wibowo. Seorang sarjana bidang komputer di universitas ternama di China, Tsinghua University. Pilihan hidupnya ternyata bukanlah di bidang komputer seperti jurusan kuliah yang ia ambil. Empat tahun kuliah dan berhasil menjadi sarjana ia justru memilih jalan hidup yang sama sekali berbeda. Jalan hidup yang membawanya untuk berkeliling menyusuri negeri-negeri. Melakukan perjalanan.

Saya memang belum selesai membaca buku ini. Baru sampai di halaman 185. Tapi, itu sudah cukup bagi saya untuk memetik beberapa pelajaran berharga tentang kehidupan yang serba aneh dan kadang absurd ini

Bertahun-bertahun meninggalkan orang tua di tanah air nyatanya tak membuat Agustinus lupa akan mereka. Terutama mama. Justru dari sang mama yang tak pernah pergi kemana-mana itulah ia menemukan arti perjalanan sejati. Perjalanan hidup yang barangkali selama ini ia cari. Ada sebuah puisi manis di bagian akhir buku ini yang Agustinus tujukan untuk mamanya yang kebetulan sedang menderita penyakit kanker dan harus opname di rumah sakit berhari-hari

Buku ini memiliki dua sisi perjalanan. Perjalanan Agustinus sebagai seorang traveler yang menjelajah negeri-negeri, serta perjalanan hidup mamanya dari kecil hingga kini diambang maut.  Di setiap bab buku ini Agustinus sengaja menuliskan tentang mamanya, yang ia tuliskan dalam huruf italic (miring). Sedangkan cerita tentang perjalanannnya ia tuliskan dalam font normal

Ada salah satu bagian di buku ini yang membuat saya langsung merenung. Saat Agustinus bercerita tentang mamanya. Saya rasa semua mama di dunia ini sama seperti mamanya Agustinus. Membesarkan anaknya dari bayi hingga dewasa, mendampingi, memberi pelajaran, menyekolahkan. Tak terhitung berapa biaya yang harus dikeluarkan seandainya jasa-jasa itu dihitung  dengan rupiah. Seorang ibu bahkan akan dengan senang hati menyambut anaknya pulang walau dalam keadaan apapun. Seburuk dan sehina apapun. Rasanya tak akan pernah ada cara untuk membalas kebaikan seorang ibu

Di puisinya Agustinus menuliskan tentang itu semua. Betapa ia telah menjadi orang yang sangat berdosa membiarkan ibunya merasa khawatir saat ia berhari-hari tak memberi kabar saat masih berada di China. Betapa ia merasa sangat berdosa karna cuma bisa membayar sebagian biaya rumah sakit dan dengan bangganya menepuk dada karna telah menganggap dirinya sebagai anak yang berbakti.

Sungguh, itu semua belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan seorang ibu untuk anaknya. Tak akan pernah bisa dibalas

 

Mama yang mengejang sewaktu melahirkanku,

Merana kalaku terlahir,

Membersarkanku,

Menyuapiku,

Membelaiku

Aku hanya mengipasinya kala ia terbaring di ranjang pesakit,

Betapa berdosanya aku

……..

Mama yang mendidikku,

Mengajariku arti perjuangan,

Mengajarkanku semangat, keberanian untuk tidak diinjak,

Mengajariku perlawanan,

Aku hanya membiayai sebagian biaya pengobatan,

Dan sudah menepuk dada sebagai anak berbakti,

Betapa berdosanya aku

……….

Mama yang tersenyum bangga kala aku berhasil di sekolah

Menangisi kepergianku ke Tiongkok,

Meneteskan air mata setiap mendengar berita bom di Pakistan

dan Afghanistan,

Menantikan datangnya teleponku dari negeri antah-berantah,

Dan aku hanya mengiriminya kartu pos,

Mengirimi artikel tulisanku yang diuat di majalah dan koran,

Betapa berdosanya aku

………..

Mama yang tersenyum dalam penderitaan,

Menahan setiap rasa sakit yang menghujam,

Mengelus-elusi kanker yang menggumpal,

Berimpi untuk cepat-cepat meninggalkan rumah sakit,

Dan aku hanya bisa berucap, dari ribuan kilometer,

“Mama, janganlah engkau terlalu lama menderita,”

Betapa berdosanya aku.