Puisi Untuk Jakarta

Jun 12, 2014

Tiga hari tinggal di Jakarta ternyata memang bukan perkara gampang untuk orang yang tak punya kendaraan pribadi. Mau tak mau, harus mau untuk ikut menjadi bagian dari kaum pedestrian melewati kawasan urban di Jakarta. Hmmm Jakarta, kota ini ternyata memang sangat sibuk. Sampai ia lupa mengucapkan selamat pagi sewaktu saya datang hari Sabtu (7/6/2014) kemaren.

Jujur, ini adalah pertama kalinya saya datang ke ibukota. Sudah banyak teman yang bercerita soal macetnya Jakarta, panasnya Jakarta, ramainya Jakarta. Dan akhirnya saya merasakan sendiri bagaimana Jakarta yang sebenarnya. Banyak yang bilang Jakarta adalah kota yang egois, atau lebih tepatnya masyarakatnya yang apatis. Jakarta telah banyak merenggut kepribadian yang dulunya lembut dan lugu, menjadi pribadi yang lupa diri layaknya kaum metropolis. Tapi juga banyak yang bilang bahwa di Jakarta mereka menemukan mimpi, tujuan hidup yang selama ini mereka cari.

Bagi saya pribadi Jakarta adalah kota yang indah. Kota yang cantik walau tak bisa dipungkiri bahwa udara kota ini memang sangat panas. Memang pantas kalau Jakarta menjadi tujuan utama urbanisasi walau sebenarnya mindset ini harus segera diubah demi kemerataan ekonomi Indonesia (semoga benar). Tapi mau bagaimana lagi, Jakarta terlalu banyak menawarkan mimpi hingga proses repatriasi hampir mustahil dilakukan.

Tapi satu yang pasti, Jakarta telah memberikan berjuta cerita. Dan saya telah menjadikan Ibukota ini sebagai bagian dr cerita hidup yang panjang. Saat berjalan melewati trotoar, saat skydining berhiaskan lampu-lampu kota, atau saat main kartu di gerbong kereta bersama teman-teman yang konyol.

Well Jakarta, terima kasih untuk sapaanmu yang manis. Puisi pendek ini untuk keramahanmu 🙂

Jakarta

Kemaren aku datang ke kotamu, Jakarta
Benar kata orang, Jakarta terlalu sibuk
Sampai lupa ucapkan selamat pagi
Setiap sudut kota ini adalah nadi
Di ujung trotoar pengamen melantukan rindu
Di balik tembok tangan-tangan menari
Jakarta barangkali adalah savana
Atau padang tandus
Yang kutahu udaranya adalah nafas yang lelah
Tanahnya adalah langkah kaki yang rapuh
Aku pernah tak percaya Jakarta
Terlalu banyak mimpi yang mati
Meski tak sedikit asa jadi nyata
Mungkin memang ada mutiara terpendam disini
Aku akan datang lagi
Untuk mutiara laksana Peri