Keluar Dari Zona Nyaman? Yakin?

Nov 24, 2016

Di luar sedang hujan. Saya baru saja menyelesaikan sebuah tulisan seperti biasanya. Cappucino yang saya buat tadi siang juga mulai dingin. Di cuaca yang dingin dan sendu seperti ini harusnya akan sangat cocok kalau saya membuat secangkir lagi. Tapi saya sedang malas. Saya lebih memilih meresapi beberapa track lagu yang saya dengarkan via earphone. Saya suka melakukannya.

Tadi siang, ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, ada hal yang tiba-tiba muncul sekelebat di pikiran. Yakni tentang zona nyaman. Katanya, untuk mencapai sebuah pecapaian kita dianjurkan untuk keluar dari zona nyaman dan mencari tantangan baru. Benarkah demikian?

Hmmm. Saya juga bingung jawabnya.

Tapi, mari kita mulai dulu dari definisi zona nyaman itu sendiri.

Setiap orang tentu punya definisinya masing-masing soal zona nyaman. Kalau saya lebih mengartikan zona nyaman sebagai zona di mana saya tak perlu menjadi orang lain. Zona di mana saya bisa berbuat sesuai kapasitas. Saya akan merasa berada di zona nyaman ketika saya benar-benar di suasana yang saya inginkan.

Zona nyaman sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan karir/pekerjaan. Itulah sebabnya kenapa ada banyak buku dan artikel yang menyarankan kita untuk keluar dari zona nyaman, jika kita merasa bahwa level kita (dalam hal karir) gitu-gitu aja. Stuck. Beberapa motivator atau orang yang berpengaruh juga menyarankan hal yang sama. Saya pernah beberapa kali ikut seminar pengembangan diri di mana sang pembicara koar-koar ke audiens soal keluar dari zona nyaman.

Secara pribadi, saya kurang sependapat bahwa untuk mencapai sebuah pencapaian kita harus keluar dari zona nyaman. Saya lebih setuju menyebutnya sebagai pindah zona nyaman.

Saya sangat yakin bahwa seseorang juga melakukan serangkaian usaha yang tak mudah untuk berada di zona nyaman. Itulah sebabnya kenapa untuk keluar dari zona nyaman juga bukan perkara mudah.

Seperti yang saya bilang tadi. Saya akan lebih setuju kalau kata “keluar” di sini diganti menjadi “pindah”. Saya akan ambil satu contoh.

Sebelum pindah ke Real Madrid dan menjadi salah satu pemain sepakbola paling hebat di planet bumi seperti sekarang, Cristiano Ronaldo sudah lebih dulu mencapai banyak hal di Manchester United. Banyak gelar pernah dia rasakan baik di level klub maupun individu: Premiere League, FA Cup, UCL, Balon d’Or dan sederet gelar bergengsi lainnya. Apakah ketika itu Cristiano Ronaldo merasa tidak nyaman? Sudah pasti jawabannya adalah nyaman.

Tapi, ternyata dia tidak puas. Ketika Real Madrid menawarinya kontrak yang memecahkan rekor dunia, ia menerimanya. Di tahun 2009 Ronaldo resmi pindah ke Real Madrid, tempat di mana dia mencapai level yang lebih tinggi. Jika ada pertanyaan lagi, apakah Ronaldo tidak nyaman di Real Madrid? Jawabannya akan sama: nyaman.

Ronaldo hanyalah satu contoh. Ada banyak orang lain di luar saya yang jalan hidupnya mirip-mirip dengan Ronaldo. Pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, atau pindah dari satu profesi ke profesi lain. Demi apa? Ya demi pencapaian baru. Pencapaian yang akan membuat mereka merasa (mungkin) lebih nyaman.

Saya kadang suka sedih kalau ada orang yang terlalu “polos”. Maksud saya, ada beberapa orang yang mengidolakan orang tertentu, katakanlah motivator x. Celakanya, apa yang dikatakan oleh sang motivator seolah-olah menjadi sabda yang harus segera dilakukan tanpa mau mencerna lebih dulu. Di suruh keluar dari pekerjaan, keluar. Di suruh bikin bisnis, bikin bisnis. Tujuannya mungkin baik. Tapi ketika sebuah keputusan tidak dibarengi dengan pertimbangan yang matang dan perhitungan resiko yang detil, kan bisa repot.

Dan saya sangat yakin bahwa setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri untuk sukses. Dan tidak harus dengan mengikuti apa yang dikatakan motivator (atau siapapun itu) untuk keluar daru zona nyaman. Toh mana ada orang yang tak ingin hidup nyaman. Sekali lagi, orang yang mencapai lebih banyak hal itu tidak keluar dari zona nyaman. Mereka hanya pindah.