Blog | sunawang.net https://www.sunawang.net see, write, share Sun, 06 Aug 2023 07:24:02 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.0.7 https://www.sunawang.net/wp-content/uploads/2022/06/cropped-favi-32x32.png Blog | sunawang.net https://www.sunawang.net 32 32 Thanks, Twitter https://www.sunawang.net/thanks-twitter/ https://www.sunawang.net/thanks-twitter/#respond Sun, 06 Aug 2023 07:24:01 +0000 https://www.sunawang.net/?p=4229 As an ordinary man living in the digital era, I also use social media to keep in touch with friends and to stay updated over things I care about. Twitter used to be the main social media platform I opened on a regular basis, until I decided to not use it anymore. Since July 2023, I have officially switched to Threads.

I think you already know the reasons.

Twitter is getting worse and worse since it was got acquired by Elon Musk. Too many drastic changes that eliminated the Twitter identity. From the edit button to unlimited character limits. I tried to stay amid the changes as I thought I can keep tweeting without using the features I don’t need — and like. However, after it got renamed to X, I think it’s the time to say goodbye. After all, there is no loyalty in tech. You should use a tech according to needs, not by sentiment.

I will not close my Twitter account. Never. I just don’t want to use it anymore.

I have been on Twitter since 2009 and have witnessed so many things. From that lifted whale, the Twitpic era, to Twitlonger. I also met so many friends on Twitter, which eventually became friends in real life. It’s also impossible to forget the moments I randomly shared on Twitter during my quarter-life crisis.

Nothing lasts forever in this life, though. Everything will come to an end. Maybe it is the best time to say goodbye to Twitter and try new experiences on Threads.

]]>
https://www.sunawang.net/thanks-twitter/feed/ 0
Thanks God I’m Still a Blogger https://www.sunawang.net/thanks-god-im-still-a-blogger/ https://www.sunawang.net/thanks-god-im-still-a-blogger/#respond Sun, 23 Jul 2023 08:48:32 +0000 https://www.sunawang.net/?p=4218 I have been blogging since I was still in college, circa 2009. Money was not the priority at that time as I blogged merely to share what I felt. Also, I used my blog to rewrite what I learned at the college. In 2012, after graduating, I decided to be more serious with my blogging hobby. I wanted to make money from it. Long story short, I went being a professional blogger since then, until today. Professional means I make a living from blogging.

If you still remember, blogging was very lively in the 2010’s. In Indonesia, there were so many active blogging communities. Be it in the campus level or broader level. There were also plenty of blogging contests and festivals held by communities and companies. People blogged for a wide range of reasons. Not just to make money. Some blogged only to show their existence.

Time flies and plenty of things have changed. Many people I know who used to blog are no longer blog. Some are very busy with their job. Some still produce content, but no longer for their blog. Instead, they produce content for social media — Instagram in particular. Some turned into a YouTuber, and even TikToker.

Well, the content creation trend has shifted today, following the popularity of video sharing platform like YouTube and Tiktok. Even on Instagram, you will find more video content instead of photos. I completely understand. To be able to survive, we sometimes need to follow what’s currently trending. I also realize that today’s people prefer to enjoy video content instead of text. If we take this circumstance to business perspective, then content is the demand. Supplier (content creator), will think twice to produce products (content) if the demand is low. That what’s happening with the blog content today.

The situation is getting worse today with more blog content is created by machine — ChatGPT and the likes — instead of human.

Even with the current circumstance, I am still blogging. I may be naive, but no. Blogging is still potential. Even more potential than before. With the content creation trend has shifted to video, you have a big chance to be standout with your blog. There are still many brands that market their products via text content. With fewer competitors, your chance of getting clients is bigger.

Also, the monetization models are broader if you have a blog. You can install ads, accept paid content, run a membership, sell something, and a lot more. More importantly, you have a full control over your business asset.

If want to blog, maybe it’s the best time to get started.

]]>
https://www.sunawang.net/thanks-god-im-still-a-blogger/feed/ 0
Bojonegoro-Ranu Kumbolo. Kopi Hitam dan Kabut Pagi https://www.sunawang.net/bojonegoro-ranu-kumbolo-kopi-hitam-dan-kabut-pagi/ https://www.sunawang.net/bojonegoro-ranu-kumbolo-kopi-hitam-dan-kabut-pagi/#comments Sun, 13 Dec 2020 13:58:41 +0000 https://www.sunawang.net/?p=3566 12 Desember 2020. Sabtu malam. Sekitar jam setengah sembilan.

Ketika menulis draft ini, saya sedang berada di sebuah warung kopi sederhana di Bojonegoro, Jawa Timur. Hujan turun sejak siang menjelang sore dan belum menunjukkan tanda akan reda. Sementara dari dalam, suara sound system terdengar cukup memekakkan. Seolah beradu sengan suara hujan di luar. Pemilik warung sedang memutar lagu-lagu dari band Jamrud. Sepertinya dia — yang saya taksir usianya antara 40-50 tahun — adalah penggemar Jamrud meskipun poster yang terpasang di salah satu jendelanya adalah poster Rocket Rockers.

Ini adalah kunjungan kedua saya di Zam Zam (nama warung kopinya). Pada kunjungan pertama lalu, sang pemilik warung juga memutar lagu-lagu dari band yang sama, yang sesekali diselingi oleh lagu-lagu dari Boomerang dan Power Metal. Saya haquul yakin bahwa pada masa mudanya dulu, si pemilik warung ini pernah agak nakal. Lalu tobat setelah menikah dan punya anak.

“Passwordnya ‘samasama'”. Kata si pemilik warung ketika saya memesan scangkir kopi hitam. Padahal saya tak menanyakannya. Wi-fi sepertinya masih menjadi fitur utama di warung-warung kopi pedesaan seperti yang saya kunjungi ini. Di beberapa warung kopi yang pernah saya kunjungi di Bojonegoro, selalu ada segerombolan anak-anak remaja yang sedang mabar (main bareng. Dalam konteks game mobile) bermodalkan wi-fi yang disediakan warung kopi. Di daerah saya sendiri (Sragen, Jawa Tengah), warung-warung kopi semacam ini tidak terlalu familiar bahkan cenderung tak ada. Mungkin karna dekat Solo, tongkrongan yang lebih populer adalah sejenis angkringan.

Sambil menikmati seruput demi seruput kopi hitam melalui sebuah lepek agar terlihat aetestik dan klasik, saya dan teman ngobrol sana-sini dengan topik yang random. Hujan masih turun cukup deras dan suara lagu-lagu Jamrud masih saja terdengar dari sound system pemilik warung. Lama-lama saya jadi bosen juga karna lagunya banyak yang diulang-ulang. Entah sudah berapa kali Pelangi di Matamu dan Telat Tiga Bulan diputar oleh pemilik warung.

“Lucu ya, hidup ini”. Celetuk teman saya tiba-tiba, tanpa konteks yang jelas.

Memang benar bahwa hidup ini terkadang lucu. Walau lucunya tak selalu membuat kita tertawa. Bahkan kadang membuat kita bersedih, marah, merasa getir.

Sore tadi, saya baru saja ngobrol panjang sekali soal bagaimana susahnya seorang pria memperjuangkan cinta. Salah langkah sedikit saja, seorang pria bisa kehilangan cinta yang sedang diperjuangkan. Seperti yang baru saja saya alami.

Tiga minggu lalu, di sekitar jam yang sama, saya sedang rebahan di dalam tenda di Ranu Kumbolo. Merasakan udara dingin pegunungan yang entah bagaimana selalu membuat saya merasa rindu. Sebuah rindu yang berat karna harus selalu bermandi peluh untuk melepaskannya. Di pagi hari, suasana di Ranu Kumbolo adalah perwujudan dari lagu Puisi Pagi milik MarcoMarche, walaupun pagi itu tidak gerimis. Ranu Kumbolo yang berselimut kabut. Airnya yang begitu tenang. Pohon-pohon dan ranting-ranting yang roboh dan jatuh secara alami. Bau tanah basah yang memberikan ketenangan ketika menciumnya. Khayalan-khayalan yang tercipta. Serta rasa syukur yang tak henti-hentinya terucap atas semuanya. Atas suasana di Ranu Kumbolo. Atas kesempatan hidup. Atas kesempatan berjuang. Atas kegagalan-kegagalan masa lalu yang memberikan pelajaran-pelajaran. Atas terkabulnya doa-doa. Atas semua yang telah tercapai.

Dan malam ini, di sebuah warung kopi sederhana ini, semua rasa syukur itu masih dan akan selalu ada. Atas semuanya. Atas segalanya. Terima kasih ya Allah. Segala puji untukMu. Hanya untukMu. UntukMu.

]]>
https://www.sunawang.net/bojonegoro-ranu-kumbolo-kopi-hitam-dan-kabut-pagi/feed/ 3
Lingkungan Baru di El Samara https://www.sunawang.net/lingkungan-baru-di-el-samara/ https://www.sunawang.net/lingkungan-baru-di-el-samara/#respond Sun, 25 Oct 2020 13:31:05 +0000 https://www.sunawang.net/?p=3541 Kadang, kita mungkin cuma butuh tempat yang tepat untuk tumbuh. Atau setidaknya, kita harus tahu bahwa tempat kita berada sekarang bukanlah tempat yang tepat untuk kita bertumbuh.

Sebulan terakhir ini, saya mencoba untuk mencari lingkungan baru. Sejenak berhenti menjadi coffee shop hopper dan singgah di tempat yang sama di jam kerja. Tempat itu adalah El Samara, sebuah working space di Kota Barat, Solo. Saya pertama kali ke El Samara tahun lalu ketika menemani seorang teman mengerjakan tesis dan tak pernah ke sana lagi sejak itu. Hingga awal September lalu, teman yang sama mengajak ke sana lagi untuk mendiskusikan project website yang sedang dia kerjakan.

Rupanya, ada beberapa hal baru di El Samara. Mulai dari mushola yg pindah lokasi (lokasi yg lama kini dijadikan kantor) hingga kru yang sepertinya baru semua. Kecuali sang manajer. Atau saya cuma salah ingat? Never mind.

Sejak memutuskan untuk menjadi seorang full-time blogger dan akhirnya sekarang sedang merintis perusahaan web publishing, saya selalu berusaha untuk mencari lingkungan dan circle yang benar-benar tepat. Dengan menjadi coffee shop hopper, saya berpikir bahwa suatu saat saya akan bertemu dengan orang yang sefrekuensi. Atau paling tidak yang sama-sama bekerja di industri kreatif sehingga kami bisa saling tukar ide dan cerita. Ternyata tidak seperti itu kenyataannya. Saya lupa bahwa ketika seseorang pergi ke coffee shop untuk bekerja, ya tujuannya cuma kerja lalu pulang. Bukan untuk cari koneksi atau semacamnya. Lagi pula, untuk orang yang tidak mudah dan pandai bergaul seperti saya, coffee shop sepertinya bukan tempat yang tepat untuk mencari teman sefrekuensi.

Koneksi buat apaan sih?

Pertanyaan ngehe. Tapi dulu saya juga sempat berpikir begitu. Buat apa sih koneksi? Toh sejauh ini saya bisa hidup tanpa mengandalkan koneksi.

Saya baru tahu pentingnya koneksi ketika pertama kali kepikiran untuk merintis perusahaan. Bukan untuk mencari pendanaan atau semacamnya karna saya memang tak ada niat ke sana. Tapi lebih ke pembentukan tim. Untuk mencari sumber daya manusia untuk membentuk sebuah tim, koneksi ternyata cukup penting. Saya bisa memanfaatkan koneksi yang saya punya untuk mencari rekomendasi seseorang untuk mengisi posisi tertentu di tim, misalnya. Setidaknya itulah yang saya yakini. Selain itu, memiliki banyak koneksi mungkin juga akan mendekatkan kita pada jodoh wkwkwk.

Saya berharap dengan berkantor di El Samara — walau cuma sementara — saya bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan untuk menumbuhkan usaha yang saat ini sedang saya rintis. Dan semoga pula, kehadiran saya juga bisa memberi manfaat untuk yang lainnya seperti yang selalu dan selalu saya cita dan doakan.

]]>
https://www.sunawang.net/lingkungan-baru-di-el-samara/feed/ 0