Bojonegoro-Ranu Kumbolo. Kopi Hitam dan Kabut Pagi

Dec 13, 2020

12 Desember 2020. Sabtu malam. Sekitar jam setengah sembilan.

Ketika menulis draft ini, saya sedang berada di sebuah warung kopi sederhana di Bojonegoro, Jawa Timur. Hujan turun sejak siang menjelang sore dan belum menunjukkan tanda akan reda. Sementara dari dalam, suara sound system terdengar cukup memekakkan. Seolah beradu sengan suara hujan di luar. Pemilik warung sedang memutar lagu-lagu dari band Jamrud. Sepertinya dia — yang saya taksir usianya antara 40-50 tahun — adalah penggemar Jamrud meskipun poster yang terpasang di salah satu jendelanya adalah poster Rocket Rockers.

Ini adalah kunjungan kedua saya di Zam Zam (nama warung kopinya). Pada kunjungan pertama lalu, sang pemilik warung juga memutar lagu-lagu dari band yang sama, yang sesekali diselingi oleh lagu-lagu dari Boomerang dan Power Metal. Saya haquul yakin bahwa pada masa mudanya dulu, si pemilik warung ini pernah agak nakal. Lalu tobat setelah menikah dan punya anak.

“Passwordnya ‘samasama'”. Kata si pemilik warung ketika saya memesan scangkir kopi hitam. Padahal saya tak menanyakannya. Wi-fi sepertinya masih menjadi fitur utama di warung-warung kopi pedesaan seperti yang saya kunjungi ini. Di beberapa warung kopi yang pernah saya kunjungi di Bojonegoro, selalu ada segerombolan anak-anak remaja yang sedang mabar (main bareng. Dalam konteks game mobile) bermodalkan wi-fi yang disediakan warung kopi. Di daerah saya sendiri (Sragen, Jawa Tengah), warung-warung kopi semacam ini tidak terlalu familiar bahkan cenderung tak ada. Mungkin karna dekat Solo, tongkrongan yang lebih populer adalah sejenis angkringan.

Sambil menikmati seruput demi seruput kopi hitam melalui sebuah lepek agar terlihat aetestik dan klasik, saya dan teman ngobrol sana-sini dengan topik yang random. Hujan masih turun cukup deras dan suara lagu-lagu Jamrud masih saja terdengar dari sound system pemilik warung. Lama-lama saya jadi bosen juga karna lagunya banyak yang diulang-ulang. Entah sudah berapa kali Pelangi di Matamu dan Telat Tiga Bulan diputar oleh pemilik warung.

“Lucu ya, hidup ini”. Celetuk teman saya tiba-tiba, tanpa konteks yang jelas.

Memang benar bahwa hidup ini terkadang lucu. Walau lucunya tak selalu membuat kita tertawa. Bahkan kadang membuat kita bersedih, marah, merasa getir.

Sore tadi, saya baru saja ngobrol panjang sekali soal bagaimana susahnya seorang pria memperjuangkan cinta. Salah langkah sedikit saja, seorang pria bisa kehilangan cinta yang sedang diperjuangkan. Seperti yang baru saja saya alami.

Tiga minggu lalu, di sekitar jam yang sama, saya sedang rebahan di dalam tenda di Ranu Kumbolo. Merasakan udara dingin pegunungan yang entah bagaimana selalu membuat saya merasa rindu. Sebuah rindu yang berat karna harus selalu bermandi peluh untuk melepaskannya. Di pagi hari, suasana di Ranu Kumbolo adalah perwujudan dari lagu Puisi Pagi milik MarcoMarche, walaupun pagi itu tidak gerimis. Ranu Kumbolo yang berselimut kabut. Airnya yang begitu tenang. Pohon-pohon dan ranting-ranting yang roboh dan jatuh secara alami. Bau tanah basah yang memberikan ketenangan ketika menciumnya. Khayalan-khayalan yang tercipta. Serta rasa syukur yang tak henti-hentinya terucap atas semuanya. Atas suasana di Ranu Kumbolo. Atas kesempatan hidup. Atas kesempatan berjuang. Atas kegagalan-kegagalan masa lalu yang memberikan pelajaran-pelajaran. Atas terkabulnya doa-doa. Atas semua yang telah tercapai.

Dan malam ini, di sebuah warung kopi sederhana ini, semua rasa syukur itu masih dan akan selalu ada. Atas semuanya. Atas segalanya. Terima kasih ya Allah. Segala puji untukMu. Hanya untukMu. UntukMu.