Belajar Banyak Di Gunung Merbabu

Aug 20, 2018

Pada jam yang sama ketika menulis artikel ini, seminggu yang lalu saya baru saja tiba di base camp pendakian Gunung Merbabu. Itu adalah pendakian ke-4 saya ke Gunung Merbabu. Tapi entah kenapa rasanya seperti pertama kali. Entah karna jeda yang terlalu lama atau teman mendaki yang baru. Mungkin juga karna dua-duanya.

Selama ini, saya tak pernah sebahagia minggu lalu saat mendaki. Jujur dari hati yang paling dalam, pendakian minggu lalu adalah pendakian paling membahahiakan yang pernah saya lakukan. Saya mendaki bersama 7 orang teman yang sama sekali baru. Dari mereka bertujuh, hanya dua orang yang secara fisik saya pernah bertemu. Itupun baru sekali di sebuah acara buka bersama Ramadhan lalu. Selebihnya, komunikasi kami hanya melalui sosial media yang frekuensinya sebenarnya juga tidak terlalu intens.

Dari tujuh teman ini, 4 orang diantaranya bahkan belum pernah saya kenal sama sekali. Saya baru tahu nama-nama mereka setelah Rifqy memasukkan saya ke grup WhatsApp. Hanya nama yang saya ketahui karna beberapa dari mereka tidak memasang profil WhatsApp, kecuali Mbak Igna.

Saya sebenarnya hampir gagal mengikuti pendakian kemaren karna nyaris kesiangan. Kalau bukan karna dibangunkan Rifqy, mungkin saya baru akan bangun jam 8, sedangkan kami sudah janjian untuk ketemuan di base camp sekitar jam 8 juga.

Kenapa bisa kesiangan? Karna malam harinya diajakin teman main PES. Saya tak bisa menolak ajakan teman untuk main PES bila mereka sudah datang langsung ke kos. Lemah, ya?

Sebagaimana biasa, saya selalu menjadikan kegiatan mendaki sebagai media belajar. Belajar untuk menikmati proses, belajar untuk sabar, belajar untuk introspeksi dan mawas diri, belajar untuk selalu mengingat Sang Maha Kuasa dalam kondisi apapun, bahkan ketika sedang lelah-lelahnya.

Dan hari itu, saya belajar lebih banyak dari biasanya. Dari Rifqy, saya belajar bagaimana caranya memotret Milky Way. Juga menggunakan white balance yang benar untuk memotret silhouette saat sunrise. Dari teman-teman yang lain, saya belajar untuk menjadi diri saya sendiri. Meski baru pertama kali bertemu, saya merasa tak perlu untuk terlalu jaga image. Toh saya bukan datang untuk taaruf.

Dan memang begitulah adanya. Selama pendakian, kadang saya hanya diam. Kadang bertingkah alay. Tak jauh beda dengan apa yang saya lakukan sehari-hari. Entah apa yang mereka pikirkan tentang saya :))

Satu hal yang selalu saya pikirkan ketika mendaki gunung adalah betapa manusia itu amatlah kecil dan lemah. Ada ratusan atau bahkan ribuan gunung di planet Bumi. Sedangkan untuk mendaki satu gunung saja, kita sudah harus mengeluarkan semua energi yang kita punya. Inilah yang kemudian membuat saya heran kepada orang-orang yang suka menunjukkan kehebatan dirinya dengan maksud sombong.

Di hadapan semesta, manusia itu hanyalaj biji sawi di Samudra Hindia. Alias ora ketok blas (ga kelihatan sama sekali). Tidak ada apa-apanya.

Saya tak banyak berekspektasi dalam pendakian kali ini. Sampai puncak ya alhamdulilah, tidak sampai puncak ya tidak apa-apa. Tujuan pribadi saya dalam pendakian ini sebenarnya cuma satu yaitu untuk belajar memotret Milky Way. Itulah mengapa saya meminta tolong Rifqy untuk membawa tripod yang lebih portable karna punya saya cukup susah dibawa-bawa untuk keperluan outdoor (maklum, barang murah)

Untuk pendakian kemaren sendiri kami bisa sampai puncak. Kami hanya mengunjungi Puncak Trianggulasi karna ketika kami sampai ke puncak, hari sudah mulai beranjak siang. Lama tak ke sana, Puncak Trianggulasi sekarang sudah berubah. Kini sudah ada gapura serta pagar pembatas.

Tapi tetap ada yang tak berubah. Yaitu nafas yang selalu terengah untuk kesana. Serta hati manusia yang selalu mengagumi keindahan semesta dari tanah tinggiNya.

Terima kasih Merbabu, sekali lagi. Juga kalian yang menjadi teman belajar sekaligus bermain. Rifqy, Mbak Igna, Sukma, Dian, Eko, Lidia dan Jun.

PS:

Foto-foto pendakian kemaren sudah saya taruh di sini.